Fakultas Hukum Universitas Krisnadwipayana (FH – Unkris) melakukan penelitian terhadap masyarakat adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan Cigugur, Kabupaten Kuningan.
Kegiatan ini merupakan pengabdian rutin yang dilakukan FH Unkris. Dalam kegiatan tersebut, tim langsung dipimpin oleh Dekan FH Unkris, Prof. Dr. H. Abdul Latif, S.H., M,Hum.
Terlihat dalam rombongan tersebut tampak hadir Kepala dan Sekretaris Prodi S2 dan S3, Dr. Siswantari Pratiwi, Dr. H. Mardani. Hartono Widodo juga Wisnu Nugraha, selaku Wadek I dan III,
Alasan Tim FH Unkris memilih lokasi tersebut didasarkan adanya polemik tugu batu satangtung berupa sebuah batu yang disusun berbentuk seperti tugu.
Bahkan belum lama ini Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil angkat bicara soal polemik tersebut dan mengarahkan Bupati Kuningan agar melakukan mediasi dengan pihak Sunda Wiwitan.
Menurut Prof. Dr. H. Abdul Latif, pada kenyataannya yang terjadi di masyarkat penganut penghayat adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan dianggap abu-abu, sehingga pengakuan terhadap keberadaannya seringkali mendapatkan diskriminasi dari pemerintah daerah setempat.
Padahal kata dia, hukum adat ada dan jelas, memiliki manuscript asli tentang wilayah adatnya. Dan komunitas adat Karuhun Urang Sunda Wiwitan tersebar dimana-mana, seperti di Cireundeu – Leuwi Gajah Cimahi Selatan, di Kampung Susuru Kertajaya Panawangan Ciamis, dan Kampung Pasir Garut.
Pada dasarnya hukum adat memang sifatnya tidak tertulis akan tetapi sangat dipatuhi oleh masyarakat adat. Ia mengakui terkadang terjadi benturan antara hukum adat dengan hukum positif, yang menurutnya, tidak perlu terjadi.
“Karena prinsipnya sudah jelas bahwa hukum tertulis yang dibawa oleh pemerintah harus mengacu kepada hukumnya rakyat yang tidak tertulis sebagai hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),” kata Prof. Dr. H. Abdul Latif, dalam rilisnya kepada awak media (23/5/2023).
Ia menjelaskan, nilai moral yang dijunjung tinggi dalam hukum adat merupakan hasil kesepakatan bersama dalam kelompok masyarakat tersebut.
Kerukunan antar pemeluk Agama di Cigugur penuh dengan toleransi, bahkan dalam hal pemakamanpun tidak dipisah-pisah, semua dalam satu hamparan tanah.
“Dalam kehidupan kesehariannya, warga selalu bergotong royong dalam segala hal. Apalagi dalam upacara adat atau syukuran yang disebut “seren taun”. Sejak jaman dulu, toleransi antar umat beragama selalu terjaga, dalam hal organisasipun, tidak melihat agama yang dianut baik bagi pengurus maupun anggotanya,” jelasnya.
Statement tersebut ia dapatkan dari Pangeran Gumirat Barna Alam, yang menyambut rombongan FH Unkris. Bahkan menurut salah satu warga Ela, yang tinggal disekitar Cisantana, kampungnya telah ditetapkan menjadi kampung toleransi.
Menurut Ela, ketika para pendatang menikahi warga setempat, mulailah ada percikan – percikan kecil yang makin lama makin besar sehingga timbul stigma warga mayoritas dan minoritas. Sehingga toleransi antar warga yang selama ini terjalin dengan baik, mulai berangsur terpecah-pecah, apalagi dengan adanya kasus “batu satangtung” yang disegel oleh Satpol PP dan Pemkab Kuningan.
Penyegelan tersebut oleh para penghayat kepercayaan Sunda Wiwitan, dianggap sebagai tindakan akal – akalan dalam menjalankan keyakinan yang mereka perjuangkan. Sehingga kelangsungan kampung toleran ini dipertanyakan kembali oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dimotori oleh Departemen Agama.
Lebih lanjut, Prof. Latif, memberikan penjelasan kepada Pangeran Gumirat Barna Alam dan perwakilan warga (Ela) yang bertanya tentang istilah mayoritas dan minoritas.
Menurut Prof, secara konseptual maupun textual tidak dikenal istilah tersebut di negara ini. Alasannya, kata dia, negara Indonesia itu adalah pemerintahan yang berdasarkan hukum, maka baik pemerintah maupun masyarakatnya harus tunduk pada hukum yang berlaku.
Dalam kesempatan tersebut, FH Unkris dan Sunda Wiwitan bersepakat akan membuat Memorandum of Understanding (MoU) terkait dengan penjelasan-penjelasan tersebut.
Menurut Wadek III Wisnu Nugraha,
bahwa selain penelitian hukum dan pengabdian pada masyarakat, telah dibuka juga pendaftaran untuk mahasiswa S1 dan S3 untuk semester gasal.(YUDHI)
sumber : https://www.venomena.id/v-edu/9778883824/polemik-tugu-batu-di-kabupaten-kuningan-mahasiswa-fh-unkris-lakukan-penelitian